Rabu, 25 Mei 2016

penelitian tanaman cabai pada petani umumnya yang menggukan sistem pertanian berkelanjutan atau tidak



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang semakin meningkat, ada dua pilihan yaitu menerapkan praktek pertanian yang telah dilakukan saat ini dan memperluas lahan pertanian pada tingkat laju yang sama dengan pertumbuhan penduduk atau memperbaiki praktek-praktek pertanian sehingga hasil tanaman meningkat per hektarnya. Opsi yang pertama adalah yang sering diterapkan pada sebagian besar sistem pertanian di dunia, demikian juga di Indonesia. Namun opsi tersebut dalam kurun waktu tertentu berdampak negatif terhadap kesuburan dan produktifitas tanah. Sisi buruk atau eksternalitas negatif dari sistem pertanian konvensional adalah terjadinya erosi tanah yang berat, punahnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, bahaya residu bahan kimia pada hasil-hasil pertanian. Dalam usaha mengalihkan konsekuensi-konsekuensi negatif pertanian konvensional diperlukan suatu sistem yang berkaelanjutan yang dapat menjadi sistem pertanian alternatif di masa kini dan di masa mendatang.
Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang berlanjut untuk saat ini, saat yang akan datang dan selamanya. Bermanfaat bagi semua dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan dan konservasi  sumber daya alam. Orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan dilakukan sedemikian rupa. Sehingga dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan  manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang. Secara komprehensif, pertanian berkelanjutan meliputi komponen-komponen fisik, biologi, dan sosio-ekonomi yang dipresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali,  dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar- dasar biologi pada pelaksanaanpertanian. Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input) yang dikenal dengan LEISA (low external-input and sustainable agriculture). Penerapan sistem pertanian berkelanjutan harus didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam pengelolaan agroekosistem yang bertanggung jawab. Pada kondisi saat ini, dimana sumber daya alam dan daya dukung lingkungan semakin terbatas, teknologi yang ramah lingkungan, murah dan mudah diaplikasikan serta tetap berlandaskan pada keseimbangan lingkungan mutlak diperlukan.
Berdasarkan informasi di atas perlu dilakukan pengukuran keberlanjutan sistem pertanian ditingkat petani sebagai langkah awal mengukur keberlanjutan sistem pertanian pada skala yang lebih luas yaitu regional dan nasional (global). Dalam pengukuran keberlanjutan sistem pertanian perlu adanya suatu kriteria untuk menentukan apakah suatu sistem pola tanam yang dilaksanakan telah memenuhi tingkat keberlanjutan.
1.2.Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari praktikum pertanian berkelanjutan ini ialah:
·         Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pentingnya pertanian berkelanjutan.
·         Mengukur keberlanjutan pola tanaman yang telah diterapkan oleh petani apakah telah memenuhi indikator keberlanjutan sistem pertanian.
·         Mengenal beberapa pola tanam pertanian berkelanjutan.
·         Membandingkan pola tanam pertanian konvensional dengan pola tanam berbasis pertanian berkelanjutan.
·         Meningkatkan kesadaran mahasiswa dan para petani untuk senantiasa melakukan upaya mempertahankan keberlanjutan sistem pertanian melalui penerapan praktek pertanian yang berwawasan lingkungan lestari.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
 Cabai (Capsicum annuum L. ) adalah tanaman yang termasuk ke dalam keluarga tanaman Solanaceae. Cabai mengandung senyawa kimia yang dinamakan capsaicin (8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide). Selain itu, terkandung juga berbagai senyawa yang mirip dengan capsaicin, yang dinamakan capsaicinoids. Sedangkan Buah cabai merupakan buah buni dengan bentuk garis lanset, merah cerah, dan rasanya pedas. Daging buahnya berupa keping-keping tidak berair. Bijinya berjumlah banyak serta terletak di dalam ruangan buah (Setiadi, 2008).
Klasifikasi tanaman cabai
Kingdom : Plantae
Dividi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Subkelas : Sympetalae
Ordo : Tubiflorae (solanales)
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Species : Capsicum annum L.
(Kusandriani, 1996).
 Komoditas cabai merah saat ini merupakan salah satu komoditas andalan petani sayuran di Indonesia karena dapat ditanam pada berbagai lahan, tidak mengenal musim tanam, dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan, serta mempunyai nilai sosial ekonomi yang tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung  vitamin A dan vitamin C serta mengandung minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar. Tanaman cabai cocok ditanam pada tanah yang kaya humus, gembur dan sarang, serta tidak tergenang air, pH tanah yang ideal sekitar 5-6. Waktu tanam yang baik untuk lahan kering adalah pada akhir musim hujan (Maret-April). Untuk memperoleh harga cabai yang tinggi, bisa juga dilakukan pada bulan Oktober dan panen pada bulan Desember, walaupun ada risiko kegagalan. Tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit. Buah cabai yang telah diseleksi untuk bibit dijemur hingga kering. Kalau panasnya cukup dalam lima hari telah kering kemudian baru diambil bijinya. Untuk areal satu hektar dibutuhkan sekitar 2-3 kg buah cabai (300-500 gr biji) (Sugiarti, 2003).
Benih cabai dapat diperoleh dari buah yang tua yang bentuknya sempurna, tidak cacat dan bebas hama penyakit. Belah buah cabai secara memanjang. Keluarkan bijinya dan jemur. Biarkan hingga kering. Biji seperti ini bisa langsung disemai. Biji yang terpilih untuk ditanam sebaiknya mengalami perlakuan benih dahulu. Benih direndam dalam larutan kalium hipoklorit 10% sekitar 10 menit. Tindakan ini sebagai penangkal penyakit virus yang sering terdapat pada benih. Benih juga dapat direndam dalam air hangat (suhu 50oC selama semalam. Tujuan perendaman agar benih cepat tumbuh. Tanaman cabai sebaiknya ditanam dalam bentuk bibit. Untuk itu diperlukanpersemaian dengan atap daun kelapa, daun pisang, atau alang – alang. Pada daerah dataran tinggi sebaiknya dibuat atap yang kekuatannya memadai. Arah persemaian dibuat menghadap ke timur. Tanah bedengan dibuat agak gembur. Tambahkan pupuk kandang dengan dicampur merata. Tebarkan biji cabai dan siram dengan sprayer halus agar tumbuh baik. Setelah berumur 30-40 hari setelah semai bibit siap ditanam di lahan (Nazaruddin, 2000).
            Pemeliharaan tanaman cabai tidak terlalu sulit. Dengan cara membersihkan rumput pengganggu, menjaga ketersediaan air, dan memberantas hama serta penyakit. Penyakit utama yang sering menanggalkan tanaman cabai ialah penyakit yang disebabkan virus daun keriting. Virus ini ditularkan kutu daun. Virus tersebut merusak daun muda sehingga menjadi keriting atau menggulung dan mengecil. Sampai sekarang penykit ini belum dapat diberantas sehingga bila ada tanaman yang terserang lebih baik dicabut dan dibuang agar tidak menular (Sunarjono, 2004).
            Sesuai dengan pernyataan Redaksi Agro Media (2008), yang menyatakan bahwa penentuan waktu tanaman harus tepat untuk memperoleh produksi buah cabai yang berkualitas dan berkuantitas tinggi. Penetuan waktu tanam juga berpengaruh pada harga jual cabai akibat permintaan pasar.
a. Penentuan waktu tanam berdasarkan musim
Cabai merupakan tanaman semusim. Umumnya petani menanam cabai pada musim kemarau setelah tanam palawija. Hal ini sesuai karakteristik cabai yang pertumbuhannya baik generatif maupun vegetatif membutuhkan sinar matahari penuh dan cuaca cerah. Umumnya petani menanam cabai saat musim kemarau karena serangan penyakit terbilang minim.
b. Penentuan waktu tanam berdasarkan harga jual
Untuk memperoleh harga jual yang tinggi biasanya dilakukan petani cabai dadakan atau petani musiman.
c. Penentuan waktu tanam berdasarkan permintaan pasar
Harga cabai merangkak naik saat musim hujan. Pada musim tersebut budidaya cabai terbentur pada masalah perawatan serta pengendalian hama dan penyakit. Bagi petani yang kurang berpengalaman, pasti tanaman cabainya mengalami kerusakan. Hal demikian menjadikan pasokan cabai berkurang.
d. Rotasi tanaman
Secara tradisional, terutama dilahan sawah penanaman cabai biasanya dirotasi dengan tanaman lain. Hal ini dilakukan oleh petani karena faktor kultur budidaya serta untuk memutus siklus hama atau penyakit tanaman. Para petani di pedesaan yang belum mengetahui teori dan teknik rotasi biasanya mentukan rotasi tanaman berdasarkan pengalaman turun temurun.
Bila tidak ada hambatan dan perawatan cukup intensif, tanaman akan dapat dipanen pertama kalinya pada usia 70 – 75 hari. Untuk selanjutnya tanaman dapat dipanen secara terus menerus dengan selang waktu satu atau dua minggu sekali. Sebenarnya panen dilakukan petani berdasarkan pada keadaan pasar. Bila pasar cabai kurang menguntungkan buah dipanen dalam keadaan yang benar – benar tua ataupun waktu panennya agak lama. Sebaliknya bila keadaan pasar menguntungkan, petani memanen cabai ini dengan selang waktu pendek (Setiadi, 2008)
            Memelihara kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan pertanian. Ciri keberlanjutan dalam pembangunan pertanian harus memperhatikan aspek lingkungan, aspek daya produksi, dan aspek kebersamaan atau keadilan sebagai satu kesatuan yang utuh. Keberlanjutan dalam aspek lingkungan mengarah pada satu kegiatan pertanian tanah lingkungan. Hal tersebut menjadi tuntutan konsumen dunia sekaligus menjamin kesinambungan kegiatan pertanian. Keberlanjutan dalam aspek produksi mengarah pada pemanfaatan sumber daya alam secara rasional dan bertumpu pada kekuatan iptek dan sumber daya manusia pertanian yang tangguh. Keberlanjutan dalam aspek kebersamaan atau keadilan harus menjamin eksistensi pelaku bisnis pertanian skala kecil dan menengah yang ada saat ini ke arah yang semakin berkembang (Mangunwijdaja dan Sailah, 2005).
            Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi dan aktifitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penggunaan praktik manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan masukan setempat dengan kesadaran bahwa keadaan regional setempat memang memerlukan sistem adaptasi lokal (Eliyas, 2008).
            Para petani tradisional pada awalnya hanya menggunakan pupuk organik. Namun dengan semakin meluasnya areal pertanian, pupuk organik tidak lagi mencukupi sehingga kemudian muncul pupuk anorganik yang lebih dikenal sebagai pupuk kimia. Pupuk anorganik memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan pupuk organik, diantaranya mampu memberikan efek yang lebih cepat dan memiliki bentuk fisik yang lebih praktis dan menarik. Karena lebih mudah mendapatkannya, petani pun kemudian lebih menyukainya. Namun seiring berjalannya waktu kemudian disadari bahwa penggunaan pupuk kimia secara terus menerus dapat merusak tanah. Meski efek penggunaannya lebih lambat namun pupuk organik lebih ramah lingkungan dibanding pupuk anorganik (Yuliarti, 2009).
            Apa yang disebut dengan pertanian organik diatur oleh standar tertentu. Untuk manguji apakah sebuah proses produksi sudah layak disebut organik maka biasanya ada lembaga tertentu yang memiliki otoritas untuk menilai dan memberikan kesimpulan. Biasanya, regulasi ini hanya menyangkut produk pertanian organik yang diperdangangkan kepada publik. Oleh sebab itu, dalam regulasi, tidak sembarangan orang atau organisasi boleh menyebutkan bahwa produk yang mereka perdangangkan ke publik adalah produk pertanian organik. Jika ada pelanggaran terhadap peraturan atau regulasi tersebut maka ada konsekwensi hukum yang menyertainya (Eliyas, 2008).
            Pada prinsipnya pertanian organik sejalan dengan perkembangan pertanian dengan masukan teknologi rendah dan upaya menuju pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Pertanian organik akan memberikan banyak keuntungan ditinjau dari peningkatan kesuburan tanah dan peningkatan produksi tanaman maupun ternak, serta lingkungan dalam mempertahankan ekosistem (Sutanto, 2002).







BAB III
METODE PENELITIAN
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu, 09 Desember 2015 pukul 08.00 WIB di daerah Tegalweru Dau Malang dengan narasumber petani besar.
Praktikum ini dilakukan dengan 2 kegiatan, yakni:
1.      Mengumpulkan data dari petani cabai besar
Kegiatan pertama ini dengan mengumpulkan data yang dilakukan melalui pendekatan indept interview dengan petani cabai besar, yaitu dengan melakukan wawancara dengan petani cabai besar tentang beberapa hal yang berkaitan dengan praktek pertanian yang telah dilakukan oleh petani dan wawancara ini dilakukan dengan menggunakan lembar kuisioner yang ada pada buku panduan praktikum.
2.      Mensurvei ke lahan petani cabai tersebut untuk mengevaluasi indikator keberlanjutan sistem pertanian.
Mensurvei lahan dari petani cabai besar dengan melihat keadaan tanah yang digunakan sebagai praktek pertanian tersebut dan kemudian menganalisis keberlanjutan dari sistem pertanian tersebut.










BAB IV
HASIL OBSERVASI
Hasil wawancara yang kami lakukan kepada bapak Ponadi, umur 48 tahun dengan latar belakang pendidikan Sekolah Dasar (SD) yang beralamat di Genting, Kelurahan Merjosari, Kec. Lowokwaru, Malang dan memiliki lahan di lokasi Tegalweru Dau.
Bapak Ponadi ini memiliki luas garapan lahan tegal seluas 2000m2 atau sekitar 1/5 hektar dengan status lahan menyewa. Lahan ini ditanami dengan tanaman cabai besar. Teknik budidaya yang dilakukan ini dengan sumber tenaga kerja yang dikerjakan sendiri dan biasanya menggunakan tenaga orang lain. Urutan penggarapan lahan untuk tanaman cabai besar yang dilakukan oleh bapak Ponadi yakni : 1) Menggemburkan tanah yang akan ditanami cabai besar serta melakukan persemaian terlebih dahulu untuk tanaman cabai besar, 2) Menambahkan pupuk organik ( pupuk kandang) dan pupuk an-organik ke lahan yang akan ditanami sebagai pupuk dasar, 3) Membuat bedengan dan memasangkan mulsa di atasnya serta melubangi mulsa tersebut sebagai tempat tanam dengan jarak 35cm X 35cm, 4) Kemudian melakukan penanaman dengan cabai yang telah disemai serta melakukan perawatan terhadap tanaman cabai besar tersebut.
Sarana produksi yang dipakai bapak Ponadi untuk perawatan dan pemupukan cabai besar dengan beberapa jenis obat-obatan yaitu Growth Plant (ZPT), Zenate 15/25WP, Aurora (fungisida), Apsa-800 WSC (perekat), Abamectin (insektisida), Daconil (fungisida) dan dengan jenis pupuk an-organik yakni ZK dan NPK Mutiara sebesar 700kg serta penambahan pupuk kandang yang dibeli dari orang lain sekitar 6-7 karung dalam satu luasan lahan tersebut.
Menurut bapak Ponadi ( petani cabai besar) ini produksi lombok dari tahun ke tahun ada kenaikan dan penurunan dan biaya produksi usaha tani lombok semakin meningkat seperti tenaga kerja, pupuk, dan pestisida juga meningkat. Lahan yang digunakan bapak Ponadi terasa keras saat diolah, upaya yang dilakukan pak Ponadi agar lahan tidak keras yaitu dengan membajak atau mencangkulnya dan memberikan penambahan pupuk kandang, namun bapak Ponadi tidak melihat secara jelas dampak perubahan dari bahan organik atau penambahan pupuk kandang tersebut dalam lahannya. Sisa panen dari tanaman cabai tersebut oleh pak Ponadi dibiarkan saja kemudian dibakar. Bapak Ponadi menambahkan bahan organik ke lahannya hanya saat pengolahan sebagai pupuk dasar, dan pupuk ini diperoleh dari hasil membeli, namun dampak dari penambahan bahan organik ke lahannya hanya biasa saja dan tidak ada perubahan yang terlihat jelas.




















BAB V
PEMBAHASAN
Uraian
Kebutuhan
Harga satuan
Total
Benih Cabai
25 gram
10000
25000
Mulsa
4 rol
650000
2600000
Pupuk



NPK mutiara
350 kg
8500
2975000
ZK
350 kg
7800
2730000
Pupuk kandang
7 karung
10000
70000
Obat-obatan



Daconil
1 bungkus
85000
85000
Growth plant
1 botol
35000
35000
Zenate
1 bungkus
65000
65000
Abamectin
1 botol
86500
86500
Aurora
1 bungkus
77000
77000
Apsa
1 botol
145000
145000
Tenaga kerja



Sendiri
2
55000
1320000
Orang lain
2
70000
140000
Sewa lahan
4 bulan

750000
Total


11103500

·         Analisis keberlanjutan
Total biaya yang dikeluarkan per tanam cabai besar yaitu sebesar Rp 11.103500.
Untuk total biaya dalam satu tahun adalah sebagai berikut:

Jenis
Biaya (Rp) per tahun
1
Biaya produksi
33310500
2
Pendapatan
40000000
3
Keuntungan
6689500

Hasil di atas yaitu pada lahan dengan luasan 2000m2, dengan harga jual 8000 rupiah dan pada saat produksi cabai besar mencapai 5ton/th.
Dilihat dari besarnya nilai keuntungan petani cabe merah per tahun yaitu 6689500 masih belum bisa dikatakan berlanjut, karena dalam sekali panen petani hanya mendapatkan keuntungan sekitar 2 jutaan. Namun hal ini juga dipengaruhi oleh harga pasar. Jika harga pasar cabe melambung tinggi maka petani juga akan mendapatkan keuntungan yang cukup besar.
Adapun keberlanjutan dari lahan cabe tersebut kemungkinan tidak belanjut, dikarenakan pemakain pupuk an-organik yang cukup tinggi dan pestisida yang dipakai juga sangat banyak serta tidak diimbangi dengan penambahan pupuk organik yang cukup. Petani tersebutpun mengatakan bahwa tanah tersebut keras saat diolah apalagi pada saat musim kemarau. Dilihat dari aspek ekonomi dan juga lingkungan pada lahan ini sangat cukup meprihatinkan karena sistem yang dilakukan tidak memenuhi kriteria pertanian berkelanjutan.
Upaya yang seharusnya dilakukan oleh petani cabai tersebut yaitu dengan mengurangi input penggunaan pestisida yang berlebihan serta menambahkan bahan organik secara rutin dan bisa juga dengan menambahkan biota tanah yang berperan dalam merombak bahan organik tanah seperti cacing dan menambah mikroorganisme di dalamnya. Serta dalam menanggulangi masalah adanya hama dan penyakit pada tanaman cabai besar dengan memutus rantai makanan hama dan penyakit tersebut dengan cara melakukan rotasi tanaman dan dengan predator alami.










BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Cabai (Capsicum annuum L. ) adalah tanaman yang termasuk ke dalam keluarga tanaman Solanaceae. Cabai mengandung senyawa kimia yang dinamakan capsaicin (8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide). Selain itu, terkandung juga berbagai senyawa yang mirip dengan capsaicin, yang dinamakan capsaicinoids.
Dilihat dari aspek ekonomi dan juga lingkungan pada lahan ini sangat cukup meprihatinkan karena sistem yang dilakukan tidak memenuhi kriteria pertanian berkelanjutan. Upaya yang seharusnya dilakukan oleh petani cabai tersebut yaitu dengan mengurangi input penggunaan pestisida, menambahkan bahan organik tanah, melakukan rotasi tanam, serta menanggulangi hama penyakit dengan predator alami.













DAFTAR PUSTAKA
Eliyas. 2008. Pembukaan Wilayah Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Kusandriani. 1996. Botani Tanaman Cabai Merah. Balai Penelitian Sayuran: Bandung.
Mangunwijdaja danSailah. 2005. Pengantar Teknologi Pertanian. Penebar Swadaya: Jakarta.
Nazaruddin. 2000. Petunjuk Pemupukan Efektif. Agromedia Pustaka: Tangerang.
Redaksi Agro Media. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. PT Agromedia Pustaka: Jakarta Selatan.
Setiadi N. 2008. Sikap Konsumen dan Implikasi untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran. Kencana Prenanda Media: Jakarta.
Sugiarti, S. 2003. Usaha Tani dan Pemasaran Cabai Merah. Jurnal Arta Agrosia: Yogyakarta.
Sunarjono,H. 2004. Bertanam 30 Jenis Sayur. Penebar Swadaya: Depok.
Sutanto, R.  2002. Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Yuliarti, 2009. Kompos. Penerbit ANDI: Yogyakarta.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar