BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang
semakin meningkat, ada dua pilihan yaitu menerapkan praktek pertanian yang
telah dilakukan saat ini dan memperluas lahan pertanian pada tingkat laju yang
sama dengan pertumbuhan penduduk atau memperbaiki praktek-praktek pertanian
sehingga hasil tanaman meningkat per hektarnya. Opsi yang pertama adalah yang
sering diterapkan pada sebagian besar sistem pertanian di dunia, demikian juga
di Indonesia. Namun opsi tersebut dalam kurun waktu tertentu berdampak negatif
terhadap kesuburan dan produktifitas tanah. Sisi buruk atau eksternalitas
negatif dari sistem pertanian konvensional adalah terjadinya erosi tanah yang
berat, punahnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, bahaya residu bahan
kimia pada hasil-hasil pertanian. Dalam usaha mengalihkan
konsekuensi-konsekuensi negatif pertanian konvensional diperlukan suatu sistem
yang berkaelanjutan yang dapat menjadi sistem pertanian alternatif di masa kini
dan di masa mendatang.
Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang
berlanjut untuk saat ini, saat yang akan datang dan selamanya. Bermanfaat bagi
semua dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Menurut Food and Agriculture
Organization (FAO), pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan dan
konservasi sumber daya alam. Orientasi
perubahan teknologi dan kelembagaan dilakukan sedemikian rupa. Sehingga dapat
menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan
manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang.
Secara komprehensif, pertanian berkelanjutan meliputi komponen-komponen fisik,
biologi, dan sosio-ekonomi yang dipresentasikan dengan sistem pertanian yang
melaksanakan pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem
pertanian tradisional, erosi tanah terkendali,
dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm)
dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan
nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar- dasar biologi pada pelaksanaanpertanian.
Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input)
yang dikenal dengan LEISA (low external-input and sustainable agriculture).
Penerapan sistem pertanian berkelanjutan harus didasarkan pada pertimbangan
ekologi dan efisiensi ekonomi dalam pengelolaan agroekosistem yang bertanggung
jawab. Pada kondisi saat ini, dimana sumber daya alam dan daya dukung
lingkungan semakin terbatas, teknologi yang ramah lingkungan, murah dan mudah
diaplikasikan serta tetap berlandaskan pada keseimbangan lingkungan mutlak
diperlukan.
Berdasarkan informasi di atas perlu dilakukan
pengukuran keberlanjutan sistem pertanian ditingkat petani sebagai langkah awal
mengukur keberlanjutan sistem pertanian pada skala yang lebih luas yaitu
regional dan nasional (global). Dalam pengukuran keberlanjutan sistem pertanian
perlu adanya suatu kriteria untuk menentukan apakah suatu sistem pola tanam
yang dilaksanakan telah memenuhi tingkat keberlanjutan.
1.2.Maksud
dan Tujuan
Maksud
dan tujuan dari praktikum pertanian berkelanjutan ini ialah:
·
Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang
pentingnya pertanian berkelanjutan.
·
Mengukur keberlanjutan pola tanaman yang
telah diterapkan oleh petani apakah telah memenuhi indikator keberlanjutan
sistem pertanian.
·
Mengenal beberapa pola tanam pertanian
berkelanjutan.
·
Membandingkan pola tanam pertanian
konvensional dengan pola tanam berbasis pertanian berkelanjutan.
·
Meningkatkan kesadaran mahasiswa dan
para petani untuk senantiasa melakukan upaya mempertahankan keberlanjutan
sistem pertanian melalui penerapan praktek pertanian yang berwawasan lingkungan
lestari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cabai (Capsicum annuum L. ) adalah
tanaman yang termasuk ke dalam keluarga tanaman Solanaceae. Cabai
mengandung senyawa kimia yang dinamakan capsaicin (8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide).
Selain itu, terkandung juga berbagai senyawa yang mirip dengan capsaicin,
yang dinamakan capsaicinoids. Sedangkan Buah cabai merupakan buah buni
dengan bentuk garis lanset, merah cerah, dan rasanya pedas. Daging buahnya berupa
keping-keping tidak berair. Bijinya berjumlah banyak serta terletak di dalam
ruangan buah (Setiadi, 2008).
Klasifikasi tanaman cabai
Kingdom : Plantae
Dividi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Subkelas : Sympetalae
Ordo : Tubiflorae (solanales)
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Species : Capsicum annum L.
(Kusandriani, 1996).
Komoditas cabai merah
saat ini merupakan salah satu komoditas andalan petani sayuran di Indonesia
karena dapat ditanam pada berbagai lahan, tidak mengenal musim tanam, dapat
dijual dalam bentuk segar maupun olahan, serta mempunyai nilai sosial ekonomi
yang tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung
vitamin A dan vitamin C serta mengandung
minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan
panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Cabai dapat ditanam
dengan mudah sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari tanpa harus
membelinya di pasar. Tanaman cabai cocok ditanam pada tanah yang kaya humus,
gembur dan sarang, serta tidak tergenang air, pH tanah yang ideal sekitar 5-6.
Waktu tanam yang baik untuk lahan kering adalah pada akhir musim hujan
(Maret-April). Untuk memperoleh harga cabai yang tinggi, bisa juga dilakukan
pada bulan Oktober dan panen pada bulan Desember, walaupun ada risiko
kegagalan. Tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang
sehat serta bebas dari hama dan penyakit. Buah cabai yang telah diseleksi untuk
bibit dijemur hingga kering. Kalau panasnya cukup dalam lima hari telah kering
kemudian baru diambil bijinya. Untuk areal satu hektar dibutuhkan sekitar 2-3
kg buah cabai (300-500 gr biji) (Sugiarti, 2003).
Benih cabai dapat diperoleh dari buah yang tua yang bentuknya sempurna,
tidak cacat dan bebas hama penyakit. Belah buah cabai secara memanjang.
Keluarkan bijinya dan jemur. Biarkan hingga kering. Biji seperti ini bisa langsung
disemai. Biji yang terpilih untuk ditanam sebaiknya mengalami perlakuan benih
dahulu. Benih direndam dalam larutan kalium hipoklorit 10% sekitar 10 menit.
Tindakan ini sebagai penangkal penyakit virus yang sering terdapat pada benih.
Benih juga dapat direndam dalam air hangat (suhu 50oC selama semalam. Tujuan perendaman agar benih cepat tumbuh. Tanaman
cabai sebaiknya ditanam dalam bentuk bibit. Untuk itu diperlukanpersemaian
dengan atap daun kelapa, daun pisang, atau alang – alang. Pada daerah dataran
tinggi sebaiknya dibuat atap yang kekuatannya memadai. Arah persemaian dibuat
menghadap ke timur. Tanah bedengan dibuat agak gembur. Tambahkan pupuk kandang
dengan dicampur merata. Tebarkan biji cabai dan siram dengan sprayer halus agar
tumbuh baik. Setelah berumur 30-40 hari setelah semai bibit siap ditanam di
lahan (Nazaruddin, 2000).
Pemeliharaan tanaman cabai tidak terlalu sulit.
Dengan cara membersihkan rumput pengganggu, menjaga ketersediaan air, dan
memberantas hama serta penyakit. Penyakit utama yang sering menanggalkan
tanaman cabai ialah penyakit yang disebabkan virus daun keriting. Virus ini
ditularkan kutu daun. Virus tersebut merusak daun muda sehingga menjadi
keriting atau menggulung dan mengecil. Sampai sekarang penykit ini belum dapat
diberantas sehingga bila ada tanaman yang terserang lebih baik dicabut dan
dibuang agar tidak menular (Sunarjono, 2004).
Sesuai
dengan pernyataan Redaksi Agro Media (2008), yang menyatakan bahwa penentuan
waktu tanaman harus tepat untuk memperoleh produksi buah cabai yang berkualitas
dan berkuantitas tinggi. Penetuan waktu tanam juga berpengaruh pada harga jual
cabai akibat permintaan pasar.
a. Penentuan waktu tanam
berdasarkan musim
Cabai merupakan tanaman
semusim. Umumnya petani menanam cabai pada musim kemarau setelah tanam
palawija. Hal ini sesuai karakteristik cabai yang pertumbuhannya baik generatif
maupun vegetatif membutuhkan sinar matahari penuh dan cuaca cerah. Umumnya
petani menanam cabai saat musim kemarau karena serangan penyakit terbilang minim.
b. Penentuan waktu tanam
berdasarkan harga jual
Untuk memperoleh harga
jual yang tinggi biasanya dilakukan petani cabai dadakan atau petani musiman.
c. Penentuan waktu tanam
berdasarkan permintaan pasar
Harga cabai merangkak naik
saat musim hujan. Pada musim tersebut budidaya cabai terbentur pada masalah
perawatan serta pengendalian hama dan penyakit. Bagi petani yang kurang
berpengalaman, pasti tanaman cabainya mengalami kerusakan. Hal demikian
menjadikan pasokan cabai berkurang.
d. Rotasi tanaman
Secara tradisional,
terutama dilahan sawah penanaman cabai biasanya dirotasi dengan tanaman lain.
Hal ini dilakukan oleh petani karena faktor kultur budidaya serta untuk memutus
siklus hama atau penyakit tanaman. Para petani di pedesaan yang belum mengetahui
teori dan teknik rotasi biasanya mentukan rotasi tanaman berdasarkan pengalaman
turun temurun.
Bila tidak ada hambatan dan perawatan
cukup intensif, tanaman akan dapat dipanen pertama kalinya pada usia 70 – 75
hari. Untuk selanjutnya tanaman dapat dipanen secara terus menerus dengan
selang waktu satu atau dua minggu sekali. Sebenarnya panen dilakukan petani
berdasarkan pada keadaan pasar. Bila pasar cabai kurang menguntungkan buah
dipanen dalam keadaan yang benar – benar tua ataupun waktu panennya agak lama.
Sebaliknya bila keadaan pasar menguntungkan, petani memanen cabai ini dengan
selang waktu pendek (Setiadi, 2008)
Memelihara
kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan pertanian. Ciri
keberlanjutan dalam pembangunan pertanian harus memperhatikan aspek lingkungan,
aspek daya produksi, dan aspek kebersamaan atau keadilan sebagai satu kesatuan
yang utuh. Keberlanjutan dalam aspek lingkungan mengarah pada satu kegiatan
pertanian tanah lingkungan. Hal tersebut menjadi tuntutan konsumen dunia sekaligus
menjamin kesinambungan kegiatan pertanian. Keberlanjutan dalam aspek produksi
mengarah pada pemanfaatan sumber daya alam secara rasional dan bertumpu pada
kekuatan iptek dan sumber daya manusia pertanian yang tangguh. Keberlanjutan
dalam aspek kebersamaan atau keadilan harus menjamin eksistensi pelaku bisnis
pertanian skala kecil dan menengah yang ada saat ini ke arah yang semakin
berkembang (Mangunwijdaja dan Sailah, 2005).
Pertanian
organik adalah sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan
mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus
biologi dan aktifitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penggunaan
praktik manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan masukan setempat dengan
kesadaran bahwa keadaan regional setempat memang memerlukan sistem adaptasi
lokal (Eliyas, 2008).
Para petani
tradisional pada awalnya hanya menggunakan pupuk organik. Namun dengan semakin
meluasnya areal pertanian, pupuk organik tidak lagi mencukupi sehingga kemudian
muncul pupuk anorganik yang lebih dikenal sebagai pupuk kimia. Pupuk anorganik
memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan pupuk organik, diantaranya mampu
memberikan efek yang lebih cepat dan memiliki bentuk fisik yang lebih praktis
dan menarik. Karena lebih mudah mendapatkannya, petani pun kemudian lebih
menyukainya. Namun seiring berjalannya waktu kemudian disadari bahwa penggunaan
pupuk kimia secara terus menerus dapat merusak tanah. Meski efek penggunaannya
lebih lambat namun pupuk organik lebih ramah lingkungan dibanding pupuk
anorganik (Yuliarti, 2009).
Apa yang
disebut dengan pertanian organik diatur oleh standar tertentu. Untuk manguji
apakah sebuah proses produksi sudah layak disebut organik maka biasanya ada
lembaga tertentu yang memiliki otoritas untuk menilai dan memberikan
kesimpulan. Biasanya, regulasi ini hanya menyangkut produk pertanian organik
yang diperdangangkan kepada publik. Oleh sebab itu, dalam regulasi, tidak
sembarangan orang atau organisasi boleh menyebutkan bahwa produk yang mereka perdangangkan
ke publik adalah produk pertanian organik. Jika ada pelanggaran terhadap
peraturan atau regulasi tersebut maka ada konsekwensi hukum yang menyertainya
(Eliyas, 2008).
Pada
prinsipnya pertanian organik sejalan dengan perkembangan pertanian dengan
masukan teknologi rendah dan upaya menuju pembangunan pertanian yang
berkelanjutan. Pertanian organik akan memberikan banyak keuntungan ditinjau
dari peningkatan kesuburan tanah dan peningkatan produksi tanaman maupun
ternak, serta lingkungan dalam mempertahankan ekosistem (Sutanto, 2002).
BAB III
METODE PENELITIAN
Praktikum ini dilaksanakan pada
hari Rabu, 09 Desember 2015 pukul 08.00 WIB di daerah Tegalweru Dau Malang
dengan narasumber petani besar.
Praktikum ini dilakukan dengan 2
kegiatan, yakni:
1. Mengumpulkan
data dari petani cabai besar
Kegiatan
pertama ini dengan mengumpulkan data yang dilakukan melalui pendekatan indept interview dengan petani cabai
besar, yaitu dengan melakukan wawancara dengan petani cabai besar tentang
beberapa hal yang berkaitan dengan praktek pertanian yang telah dilakukan oleh
petani dan wawancara ini dilakukan dengan menggunakan lembar kuisioner yang ada
pada buku panduan praktikum.
2. Mensurvei
ke lahan petani cabai tersebut untuk mengevaluasi indikator keberlanjutan
sistem pertanian.
Mensurvei
lahan dari petani cabai besar dengan melihat keadaan tanah yang digunakan
sebagai praktek pertanian tersebut dan kemudian menganalisis keberlanjutan dari
sistem pertanian tersebut.
BAB IV
HASIL OBSERVASI
Hasil wawancara yang kami lakukan
kepada bapak Ponadi, umur 48 tahun dengan latar belakang pendidikan Sekolah
Dasar (SD) yang beralamat di Genting, Kelurahan Merjosari, Kec. Lowokwaru,
Malang dan memiliki lahan di lokasi Tegalweru Dau.
Bapak Ponadi ini memiliki luas
garapan lahan tegal seluas 2000m2 atau sekitar 1/5 hektar dengan
status lahan menyewa. Lahan ini ditanami dengan tanaman cabai besar. Teknik
budidaya yang dilakukan ini dengan sumber tenaga kerja yang dikerjakan sendiri
dan biasanya menggunakan tenaga orang lain. Urutan penggarapan lahan untuk
tanaman cabai besar yang dilakukan oleh bapak Ponadi yakni : 1) Menggemburkan
tanah yang akan ditanami cabai besar serta melakukan persemaian terlebih dahulu
untuk tanaman cabai besar, 2) Menambahkan pupuk organik ( pupuk kandang) dan
pupuk an-organik ke lahan yang akan ditanami sebagai pupuk dasar, 3) Membuat
bedengan dan memasangkan mulsa di atasnya serta melubangi mulsa tersebut
sebagai tempat tanam dengan jarak 35cm X 35cm, 4) Kemudian melakukan penanaman
dengan cabai yang telah disemai serta melakukan perawatan terhadap tanaman
cabai besar tersebut.
Sarana produksi yang dipakai bapak
Ponadi untuk perawatan dan pemupukan cabai besar dengan beberapa jenis
obat-obatan yaitu Growth Plant (ZPT), Zenate 15/25WP, Aurora (fungisida),
Apsa-800 WSC (perekat), Abamectin (insektisida), Daconil (fungisida) dan dengan
jenis pupuk an-organik yakni ZK dan NPK Mutiara sebesar 700kg serta penambahan
pupuk kandang yang dibeli dari orang lain sekitar 6-7 karung dalam satu luasan
lahan tersebut.
Menurut bapak Ponadi ( petani cabai
besar) ini produksi lombok dari tahun ke tahun ada kenaikan dan penurunan dan biaya
produksi usaha tani lombok semakin meningkat seperti tenaga kerja, pupuk, dan
pestisida juga meningkat. Lahan yang digunakan bapak Ponadi terasa keras saat
diolah, upaya yang dilakukan pak Ponadi agar lahan tidak keras yaitu dengan
membajak atau mencangkulnya dan memberikan penambahan pupuk kandang, namun
bapak Ponadi tidak melihat secara jelas dampak perubahan dari bahan organik
atau penambahan pupuk kandang tersebut dalam lahannya. Sisa panen dari tanaman cabai
tersebut oleh pak Ponadi dibiarkan saja kemudian dibakar. Bapak Ponadi
menambahkan bahan organik ke lahannya hanya saat pengolahan sebagai pupuk
dasar, dan pupuk ini diperoleh dari hasil membeli, namun dampak dari penambahan
bahan organik ke lahannya hanya biasa saja dan tidak ada perubahan yang
terlihat jelas.
BAB V
PEMBAHASAN
Uraian
|
Kebutuhan
|
Harga satuan
|
Total
|
Benih Cabai
|
25 gram
|
10000
|
25000
|
Mulsa
|
4 rol
|
650000
|
2600000
|
Pupuk
|
|
|
|
NPK mutiara
|
350 kg
|
8500
|
2975000
|
ZK
|
350 kg
|
7800
|
2730000
|
Pupuk kandang
|
7 karung
|
10000
|
70000
|
Obat-obatan
|
|
|
|
Daconil
|
1 bungkus
|
85000
|
85000
|
Growth plant
|
1 botol
|
35000
|
35000
|
Zenate
|
1 bungkus
|
65000
|
65000
|
Abamectin
|
1 botol
|
86500
|
86500
|
Aurora
|
1 bungkus
|
77000
|
77000
|
Apsa
|
1 botol
|
145000
|
145000
|
Tenaga kerja
|
|
|
|
Sendiri
|
2
|
55000
|
1320000
|
Orang lain
|
2
|
70000
|
140000
|
Sewa lahan
|
4 bulan
|
|
750000
|
Total
|
|
|
11103500
|
·
Analisis keberlanjutan
Total biaya yang dikeluarkan per
tanam cabai besar yaitu sebesar Rp 11.103500.
Untuk total biaya dalam satu tahun adalah sebagai
berikut:
|
Jenis
|
Biaya (Rp) per tahun
|
1
|
Biaya produksi
|
33310500
|
2
|
Pendapatan
|
40000000
|
3
|
Keuntungan
|
6689500
|
Hasil di atas yaitu pada lahan
dengan luasan 2000m2, dengan harga jual 8000 rupiah dan pada saat
produksi cabai besar mencapai 5ton/th.
Dilihat dari besarnya nilai
keuntungan petani cabe merah per tahun yaitu 6689500 masih belum bisa dikatakan
berlanjut, karena dalam sekali panen petani hanya mendapatkan keuntungan
sekitar 2 jutaan. Namun hal ini juga dipengaruhi oleh harga pasar. Jika harga
pasar cabe melambung tinggi maka petani juga akan mendapatkan keuntungan yang
cukup besar.
Adapun keberlanjutan dari lahan
cabe tersebut kemungkinan tidak belanjut, dikarenakan pemakain pupuk an-organik
yang cukup tinggi dan pestisida yang dipakai juga sangat banyak serta tidak
diimbangi dengan penambahan pupuk organik yang cukup. Petani tersebutpun
mengatakan bahwa tanah tersebut keras saat diolah apalagi pada saat musim
kemarau. Dilihat dari aspek ekonomi dan juga lingkungan pada lahan ini sangat
cukup meprihatinkan karena sistem yang dilakukan tidak memenuhi kriteria
pertanian berkelanjutan.
Upaya yang seharusnya dilakukan
oleh petani cabai tersebut yaitu dengan mengurangi input penggunaan pestisida
yang berlebihan serta menambahkan bahan organik secara rutin dan bisa juga
dengan menambahkan biota tanah yang berperan dalam merombak bahan organik tanah
seperti cacing dan menambah mikroorganisme di dalamnya. Serta dalam
menanggulangi masalah adanya hama dan penyakit pada tanaman cabai besar dengan
memutus rantai makanan hama dan penyakit tersebut dengan cara melakukan rotasi
tanaman dan dengan predator alami.
BAB VI
PENUTUP
6.1.
Kesimpulan
Cabai (Capsicum annuum L. )
adalah tanaman yang termasuk ke dalam keluarga tanaman Solanaceae. Cabai
mengandung senyawa kimia yang dinamakan capsaicin (8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide).
Selain itu, terkandung juga berbagai senyawa yang mirip dengan capsaicin,
yang dinamakan capsaicinoids.
Dilihat dari aspek ekonomi dan juga
lingkungan pada lahan ini sangat cukup meprihatinkan karena sistem yang
dilakukan tidak memenuhi kriteria pertanian berkelanjutan. Upaya yang
seharusnya dilakukan oleh petani cabai tersebut yaitu dengan mengurangi input
penggunaan pestisida, menambahkan bahan organik tanah, melakukan rotasi tanam,
serta menanggulangi hama penyakit dengan predator alami.
DAFTAR PUSTAKA
Eliyas. 2008. Pembukaan Wilayah Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor: Bogor.
Kusandriani.
1996. Botani Tanaman Cabai Merah.
Balai Penelitian Sayuran: Bandung.
Mangunwijdaja
danSailah. 2005. Pengantar Teknologi Pertanian. Penebar
Swadaya: Jakarta.
Nazaruddin.
2000. Petunjuk Pemupukan Efektif.
Agromedia Pustaka: Tangerang.
Redaksi Agro Media. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. PT Agromedia
Pustaka: Jakarta Selatan.
Setiadi N. 2008. Sikap Konsumen dan Implikasi untuk Strategi
dan Penelitian Pemasaran. Kencana Prenanda Media: Jakarta.
Sugiarti, S. 2003. Usaha Tani dan Pemasaran Cabai Merah.
Jurnal Arta Agrosia: Yogyakarta.
Sutanto,
R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Yuliarti,
2009. Kompos. Penerbit ANDI:
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar